SEKILAS SEJARAH BUTON
NEGERI BUTON -"tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni.
Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.
Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah:
Sipanjonga,
Simalui,
Sitamanajo, Sijawangkati.
Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M.
Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati; Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa. Gambar Keraton Kesultanan Buton Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu yang di beri nama LAKULEBA pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton, mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan Buton.
Sementara Simalui dan para pengikutnya diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga. Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri Raja Kamaru.
Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu.
Keempat desa ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa (Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat seorang Raja.
Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M.
Berkaitan dengana asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butuni, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai penanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu.
Namun dari sebuah kitab sejarah yang berjudul Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wadaarul Munajat(Hakikat Asal kejadian Negeri Buton Dan Negeri Muna) nama BUTUNI berasal dari perkataan BATHNIY kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan. Diperkirakan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk
b. Kerajaan Buton dan Islam
Dengan naiknya Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16 M. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.
Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan.
Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.____Foto Meriam Benteng Wolio
2. Silsilah
Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam. Raja-raja:
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum
Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
3. Periode Pemerintahan
Era pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam berlangsung dari tahun 1542 hingga 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M.
4. Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi.
5. Struktur Pemerintahan
Kekuasasan tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh sultan. Struktur kekuasaan di kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan: kaomu dan walaka. Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun, sultan harus berasal dari golongan kaomu.
Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton adalah bontona (menteri), menteri besar, bonto, kepala Siolimbona dan sekretaris sultan.
6. Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri darimana Islam di Buton berasal.
Peninggalan naskah Buton sangat berarti unutk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio.
Selain itu, juga terdapat naskah yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC Belanda. Kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman.
Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai mati).
Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti.
Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu).
Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin menaklukkannya.
Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis.
Lapis pertama ditangani oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa.
Lapis kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Untuk memperkuat sistem pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter, melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan 16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai.
Demikianlah deskripsi ringkas mengenai Kerajaan Buton. Saat ini, di bekas wilayah Kesultanan ini, telah berdiri beberapa kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau–Bau. Kota Bau-bau ini merupakan pusat Kerajaan Buton pada masa dulu. Hingga saat ini, masih tersisa peninggalan kerajaan, di antaranya bangunan istana.
Digambarkan, Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yang dilengkapi taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.
Dalam sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah:
Sipanjonga,
Simalui,
Sitamanajo, Sijawangkati.
Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M.
Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati; Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa. Gambar Keraton Kesultanan Buton Sipanjongan dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu yang di beri nama LAKULEBA pada bulan Syaban 634 Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton, mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan Buton.
Sementara Simalui dan para pengikutnya diceritakan mendarat di Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga. Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri Raja Kamaru.
Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu.
Keempat desa ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa (Bonto) ini disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat seorang Raja.
Selain empat Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring perjalanan sejarah, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1332 M.
Berkaitan dengana asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal dari Butuni, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk setempat menerima penyebutan ini sebagai penanda dari para pelaut nusantara yang sering singgah di pulau itu.
Namun dari sebuah kitab sejarah yang berjudul Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wadaarul Munajat(Hakikat Asal kejadian Negeri Buton Dan Negeri Muna) nama BUTUNI berasal dari perkataan BATHNIY kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut atau kandungan. Diperkirakan, nama ini telah ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam surat-menyurat, kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung, dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk
b. Kerajaan Buton dan Islam
Dengan naiknya Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16 M. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.
Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan.
Di masa ini juga, Buton memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.____Foto Meriam Benteng Wolio
2. Silsilah
Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode Islam. Raja-raja:
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum
Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
3. Periode Pemerintahan
Era pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 hingga 1542 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja. Sementara periode Islam berlangsung dari tahun 1542 hingga 1960 M. Selama rentang waktu ini, telah berkuasa 38 orang raja. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1960 M.
4. Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kerajaan Buton meliputi seluruh Pulau Buton dan beberapa pulau yang terdapat di Sulawesi.
5. Struktur Pemerintahan
Kekuasasan tertinggi di Kerajaan Buton dipegang oleh sultan. Struktur kekuasaan di kesultanan ditopang oleh dua golongan bangsawan: kaomu dan walaka. Walaka adalah golongan yang memegang adat dan pengawas pemerintahan yang dijalankan oleh sultan. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun, sultan harus berasal dari golongan kaomu.
Untuk mempermudah jalannya pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut kadie. Beberapa jabatan yang ada di struktur pemerintahan Buton adalah bontona (menteri), menteri besar, bonto, kepala Siolimbona dan sekretaris sultan.
6. Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri darimana Islam di Buton berasal.
Peninggalan naskah Buton sangat berarti unutk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio.
Selain itu, juga terdapat naskah yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC Belanda. Kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi. Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman.
Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai mati).
Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti.
Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu).
Sebagai alat tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin menaklukkannya.
Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis.
Lapis pertama ditangani oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa.
Lapis kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Untuk memperkuat sistem pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter, melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan 16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai.
Demikianlah deskripsi ringkas mengenai Kerajaan Buton. Saat ini, di bekas wilayah Kesultanan ini, telah berdiri beberapa kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau–Bau. Kota Bau-bau ini merupakan pusat Kerajaan Buton pada masa dulu. Hingga saat ini, masih tersisa peninggalan kerajaan, di antaranya bangunan istana.
salam kenal aja....
BalasHapussalam kenal aja lagi...
BalasHapuswww.butonpages.blogspot.com
mampir...
BalasHapushttp://hariruwanci.blogspot.com
Nama Raja Murhum/Sultan Murhum kok tidak ditampilkan nama yang sebenarnya (nama yang sebenarnya La Kila Ponto, Murhum itu adalah gelarnua). La Kila Ponto adalah putra Raja Muna VI La Manuru (Sugi Manuru) yang menjadi raja karena memenangkan Sayembara yang diadakan oleh raja La Elangi (Raja Mulae, atau Raja Dayanu Ikhsanudin. Raja Mulae juga adalah gelar dari raja La Elangi, kemungkinan beliau adalah Raja yang pertama kali masuk Islam sebelum La Kila Ponto karena setelah La Kila Ponto, Raja Muna La Posasu kemungkinan juga telah masuk Islam setelah masuknya La Kila Ponto ke dalam ajaran Islam).
BalasHapusLa Kila Ponto sebelumnya adalah Raja Konawe, kemudian menjadi Raja Muna menggantikan Ayahnya Sugi Manuru (karena Beliau adalah Putra Tertua dan dipilih oleh Dewan Sara Muna), karena memenangkan Sayembara di Buton, maka Raja La Elangi (Raja Mulae/Dayanu Ikhsanudin) memberikan tahtanya kepada Beliau.
Sedangkan raja Muh. Idrus itu nama sebenarnya adalah La Ode Muhamad Idrus. Beliau sebelumnya menjadi raja muna dan beliau putra Raja Muna La Ode Ahmad Maktubu. Setelah La Ode Ahmad Maktubu meninggal karena jatuh di jembatan tula (digelari minalo we kaleleha) digantikan oleh putranya La Ode Muhamad Idrus. Setelah Sultan Buton La Dani, yang pilihan Dewan Sara Buton jatuh ke La Ode Muhamad Idrus karena diharapkan dengan dipangkunya jabatan sultan oleh beliau diharapkan hubungan antara Muna dan Buton saat itu akan baik sebab sebelumnya Muna ditetapkan sebagai Under Afdeling Buton oleh Belanda secara sepihak pada masa pemerintahan La Ode Ahmad Maktubu.
Selama masa pemerintahannya, Raja La Ode Muhammad Idrus mengembalikan peralatan kerajaan muna ke muna yang pernah di bawah Raja La Ode Ngkaili (La Ode Ngkaili adalah raja Muna yang ditunjuk oleh Sultan Buton atas hasutan Belanda, sebab saat itu muna tidak berdaya, maka Dewan Sara Muna dengan terpaksa menerima Raja Tersebut. Akan tetapi Raja La Ode Ngkaili tidak lama menjadi Raja dan selama masa pemerintahannya banyak perlengkapan kerajaan muna dibawa di Buton. Raja La Ode Ngkaili hanya memerintah 1 tahun karena tidak Dewan Sara Muna tidak menyetujuinya secara mutlak). Raja La Ode Muhamad Idris meninggal di Waara yang digelari Milano te Waara.
Terima kasih untuk semua ,buat pak amir, terima kasih atas infonya semoga bisa menambah perbendaharaan sejarah Muna dan Buton.
BalasHapusDari Manakah Asal Penamaan Negeri Buton ?
BalasHapusDimanakah letak Buton? Dari manakah asal penamaan Buton? Siapakah kali pertama yang menamai jajaran pulau di jazirah Celebes (Sulawesi) tersebut dengan nama Buton? Mengapa dinamakan Buton?
Buton adalah nama sebuah pulau di jazirah tenggara kepulauan Sulawesi (Celebes). Di pulau inilah dahulu terletak pusat pemerintahan Kesultanan Buton. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan pulau itu bernama demikian.
Ket Gbr: Benteng Keraton Buton & Masjid Agung Keraton Buton. Lokasi di Benteng Keraton Buton.
Dalam catatan sejarah yang bisa dirunut bahwa pada abad ke-14 Buton telah dikenal oleh dunia luar. Dari sejumlah sumber dijumpai beberapa versi yang mengisahkan keberadaan negeri ini. Salah satu sumber kepustakaan sejarah nusantara yang pernah memberitakan keberadaan Buton adalah Kitab Kakawin (Negara Kertagama) yang ditulis Mpu Prapanca (sastrawan Majapahit).
Pada Pupuh XIV di kitab tersebut dituliskan adalah Mahapatih Gajah Mada dalam sumpahnya –yang terkenal sebagai Sumpah Palapa-- melafalkan pulau ini sebagai berikut :
“….muwah tanah I Bantayan. Pramuka Bantayan len Luwu, tentang udamakatrayadhi nikanang sanusaspupul. Ikang sakanuasa Makasar, Boetoen, Banggawi, Kunir, Craliyao Mwangi, Selaya, Sumba, Sotomuar….”
Artinya:
(….Seluruh Sulawesi menjadi daerah VII Kerajaan Majapahit, meliputi; Bantaeng, Luwuk, Talaut, Makasar, Buton, Banggai, Kunir, Selayar, Solor…).
Dari informasi Mpu Prapanca tersebut sekilas dapatlah disimpulkan bahwa Buton, sejak zaman Majapahit telah dikenal oleh dunia luar, kerajaan-kerajaan di nusantara. Dari informasi Mpu Prapanca tersebut diketahui bahwa sesungguhnya nama Buton telah ada sebelum Mpu Prapanca menuliskan Kitab Kakawin Negarakertagama—atau sebelum Mahapatih Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa-nya pada tahun 1364 (Miladiah). Jadi sejak kapan nama Buton, pulau Buton, manusia Buton,Kerajaan Buton telah ada…? Siapakah kali pertama yang memberikan nama Buton..?? Mengapa dinamakan Buton…??
BalasHapusDalam hubungannya dengan pemberitaan tersebut diatas, Prof Mattulada (1996) menyatakan bahwa perkataan Boetoen (Buton) yang tertulis dalam Kitab Negarakertagama sesungguhnya merujuk pada sebuah negeri berdaulat sebagaimana halnya Bantaeng, Makassar, Banggai, Solor, dan sebagainya, dan niscaya pula bahwa letak negeri Buton sebagaimana dimaksud Prapanca berada di sebelah selatan menenggara kontinen Pulau Sulawesi.
Bagaimana asal muasal nama Buton, terhadap hal ini ditemukan sejumlah versi. Versi yang lain menyatakan bahwa, nama Buton berasal dari nama sejenis pohon, yaitu pohon “butun” (latin: Barringtonia asiatica) . Pohon butun ini banyak tumbuh di daerah pesisir selatan Pulau Buton, yaitu suatu tempat yang sejak dulu banyak disinggahi kapal-kapal layar yang melintasi perairan Nusantara. Dalam masyarakat Buton ada suatu tradisi membuat upacara yang dikenal sebagai kaepeta. Dalam upacara kaepeta masyarakat setempat menggunakan daun pohon butun sebagai ganti piring untuk makan. Bahkan daun pohon butun digunakan pula sebagai bahan dasar membuat ketupat –masyarakat setempat menyebut ketupat butun karena ketupatnya dari daun butun dan besarnya sebesar buah pohon butun.
Secara sosio-antropologis, sumber diatas menunjukkan keterkaitan masyarakat Buton dengan pohon butun. Dalam bahasa Melayu memang ada kosa kata butun. Atas dasar itu, diduga keras bahwa yang memberi nama demikian adalah orang yang menggunakan bahasa Melayu. Hal ini sejalan dengan sumber-sumber historiografi local buton yang menyatakan bahwa kerajaan buton didirikan oleh kelompok Mia Patamiana (Empat Pemimpin) yaitu imigran yang berasal dari Kawasan Semenanjung Malaka. Jadi –menurut versi ini—nama Buton diduga keras diberikan oleh imigran Mia Patamiana dari Melayu.
Versi lain---dan ini yang diyakini masyarakat Buton sendiri—bahwa nama Buton berasal dari bahasa Arab yakni dari kosa kata butuni yang arti harfiahnya: perut. Penamaan butuni diyakini oleh masyarakat setempat diberikan oleh ulama-ulama yang pertama mendiami kepulauan tersebut. Hal ini terungkap dalam salah satu syair Kabhanti (sastra klasik buton) yang berjudul Kanturuna Mohelana (Pelita Sang Pelaut) sebagai berikut:
Tuamosi yaku kupatindamo
Ikompona incema euyincana
Kaapaaka upeelu butuni
Kumaanaia butuni o kompo
Motodhikana inuncana qura’aini
Itumo dhuka nabita akooni
Apayincana sababuna tana siy
Tuamo siy auwalina Wolio
Inda kumondoa kupetula-tulakea
Sokudhingki auwalina tua siy
Taokana akosaro butuni
Amboresimo pangkati kalangana
Artinya:
Demikian inilah kubertanya
Di perut siapakah engkau tampak
Karena engkau suka butuni
Kuartikan butuni adalah mengandung
Yang terdapat pula dalam Al Quran
Disitulah Nabi Saw bersabda
Menjadi asal sebab tanah Wolio
Demikian inilah awalnya Wolio
Tidak selesai kuceritakan semua
Sebabnya bernama butuni
Karena menempati derajat yang tinggi.
Menurut syair kabhanti diatas nama Buton berasal dari kosa kata bahasa Arab, terdapat di dalam Al Quran yakni butuni. Dinamai demikian karena negeri Buton diyakini mengandung banyak isi sebaimana halnya perut atau butun yang berisi makanan. Menurut masyarakat setempat, “isi” dimaksud adalah berupa hikmah, ilmu dan kekayaaan alam yang terpendam di dalamnya.
BalasHapusJika sumber yang terakhir dihubungkan dengan riwayat kedatangan kelompok Mia Patamiana (tahun 1400-an) yang diduga memberi nama daerah ini (Buton), maka besar kemungkinan kelompok imigran tersebut telah menganut Agama Islam.
Berdasarkan jejak sejarah yang bisa ditelusuri ajaran Islam masuk di Buton pada sekitar tahun 1542 M (948 H). Tokoh yang dikenal sebagai penyiar agama Islam pertama di Buton adalah Syekh Abdul Wahid seorang ulama berkebangsaan Arab. Beliau mengislamkan negeri Buton dan memberikan gelar Sultan pada raja dan Kesultanan pada negeri Buton –tentu saja setelah mendapatkan ijin dari Sultan Roem di Turki (pusat Kesultanan Islam di Dunia pada waktu itu).
Jadi kembali ke pertanyaan awal tulisan ini….siapakah yang kali pertama memberikan nama Buton, butuni pada pulau di jazirah tenggara Celebes itu ??. Apakah salah satu dari yang berikut: ….Mia Patamiana yang dari Melayu (tahun 1400-an), Syekh Abdul Wahid sang penyiar agama Islam (tahun 1542 M), Mahapatih Gajah Mada-Mpu Prapanca (tahun 1364 M), ataukah ada yang lain sang pemberi nama butun ---jauh sebelum tercatat di dalam Kitab Negara Kertagama …..??
Kembali ke tulisan Mpu Prapanca dalam Kitab Negarakertagama, dalam Pupuh LXXVII dia menulis:
“…..Buton adalah daerah ke-resi-an, di dalamnya terbentang taman, dijumpai lingga, ditemukan saluran air (irigasi/drainase ?) dan rajanya bergelar Yang Mulia Maha Guru…” (Dikutip dari Slamet Muljana, 1979).
Dalam tradisi masyarakat Hindu (agama Kerajaan Majapahit) istilah resi adalah gelar untuk strata ahli spiritual/agama (komunitas brahmana). Dari pemberitaan Mpu Prapanca bahwa Buton adalah daerah ke-resi-an bisa disimpulkan bahwa ketika Mpu Prapanca menulis Kitabnya dia memberikan penegasan bahwa di buton sesungguhnya telah didiami sekelompok--mungkin komunitas resi (ahli olah spiritual). Maka muncul pertanyaan “mengganggu” apakah tidak mungkin penamaan buton jauh sebelum rentang masa dari semua pendapat/versi yang diungkapkan diawal tulisan ini??
Kupasan tentang pertanyaan “mengganggu” diatas akan dilanjutkan pada artikel berikutnya. (Ful-Walio)
banyaakin gambarnyaa donk
BalasHapusTHANKS YA berguna banget buat laporanku,
BalasHapussalam kenal aja
by : sahidin
Thank you! Sangat berguana untuk tgs. Sejarahku
BalasHapusIslam, Buton Dan Bugis Adalah Sejarah Tak Terpisahkan
BalasHapusterlalu byak pendapat, pusing the
BalasHapusterlalu byak pendapat, pusing the
BalasHapusHikayat Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat (Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna) - "BUKU TEMBAGA"
BalasHapusMengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat.
Hikayat tersebut menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW. mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat.
Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang terjadi.
Pertanyaan sahabat itu dijawab oleh Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah Pulau (Wuna & Buton ) yang mana penghuninya nantinya akan menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur dan Abdul Gafur untuk mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW. sekaligus menyebarkan agama islam
di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa negeri sebelum menemukan dua buah
pulau ( ditemukan dalam arti hakiki ) di maksud yaitu Pulau Wuna - (Muna ) dan Pulau Buton.
Setelah kedua utusan tersebut menemukan
negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera. Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang
artinya Perut bumi dan Kesejahteraan.
mohon sumber dari kalimat indah di atas tolong di publish
BalasHapus