Macam macam kekafiran
Merujuk ke berbagai ayat maupun hadits, disimpulkan bahwa kekafiran terbagi kepada dua bagian, yaitu kufrun I''tiqaadi dan kufrun ''amali.
Pertama, "kurfrun I''tikaadi" adalah penyembunyian atau pengingkaran dalam hal keimanan (akidah) terhadapa kebenaran yang datang dari Allah. Inilah yang diungkapkan misalnya oleh Allah di S. Albaqarah: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir adalah sama bagi mereka, apakah kamu memberikan petunjuk kepada mereka atau tidak, mereka tidak akan beriman" (Al Baqarah:6). Mereka memang secara imani atau I''tikadi menyembunyikan apa yang sesungguhnya sesuai dengan fitrah atau nurani (mungkin diistilahkan hati kecil)nya itu sendiri.
Pengingkaran tersebut dapat dirasakan oleh mereka sendiri, atau memang tidak dirasakan sebagai suatu pengingkaran. Para pembesar qurays ketika itu sadar dan bahkan dalam hati kecilnya insaf (mengakui kebenaran) yang dibawa Muhammad SAW. Namun karena "gengsi" yang disebabkan oleh "kesombongan" mereka terpaksan mengatakan "tidak". Sebaliknya, Fir''aun betul-betul tidak menyadari lagi "nurani"nya saat itu. Ini disebabkan karena "fitrah" yang bersemayam dalam hatinya itu telah terkungkung oleh jiwa keangkuhan yang berlebihan. Sehingga ketika Musa dan harun datang kepadanya, mengajaknya kepada penyembahan Ilahi, ia berkata: "Wa maa rabbukuma ya muusa wa haaruun" (Siapa sih Tuhanmu wahai Musa dan harun?"
Namun ketidak sadaran Fir''aun itu menjadi alam kesadaran pada saat jiwa kesombongannya mencair oleh situasi alam sekitarnya. Pada saat ia tenggelam di laut merah, tak seorang pun yang mampu menolongnya, termasuk dirinya sendiri walau mengaku tuhan, ia pun menjerit dan berucap: "Al aana amantu birabbil ''alamiin, Rabbi Musa wa harun" (Sekarang saya beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhannya Musa dan harun". Ia mengakui Allah, walaupun masih dengan ungkapan kesombongan, seolah Allah hanya Tuhannya Musa dan Harun saja.
Kelompok lain dari kategori kufur pertama ini adalah mereka yang hipokrit (munafik). Mereka, kendati memperlihatkan amalan-amalan imani dan islami, namun secara imani atau I''tikadi menolak kebenaran tersebut. Kelompok manusia seperti ini, jika ditinjau dari sudut pandang strategi perjuangan justeru lebih berbahaya. Oleh sebab itu, wajar saja jika S. Albaqarah yang turun dalam konteks perjuangan Rasulullah SAW menegakkan "Islamic Society" secara panjang lebar menceritakan kriteri mereka ini.
Kedua, "kufrun ''amali" adalah menyembunyikan kebenaran dalam perbuatan, tapi secara imani menerimanya sebagai kebenaran. Oleh para ulama, disimpulkan bahwa siapa saja yang pernah mengucapkan "kalimah Thayyibah" (Laa ilaaha Illallah-Muhammadan rasulullah) dengan ikhlas, sungguh-sungguh dalam pengucapannya, lalu kemudian terjerumus dalam perilaku yang bertentangan dengan ucapannya itu, maka ia masuk dalam kategori "Kufrun ''amali". Namun dengan satu catatan bahwa keterjerumusannya dalam suatu tindakan yang bertentangan dengan islam tidaklah menyentuh daerah keyakinannya.
Sebagai misal, di dalam ayat disebutkan bahwa: "Waman yaqtul Mu''minan muta''ammidan, fajazaauhu jahannam khaalidanÉdst" (An Nisa: 93) Artinya: "Barangsiapa yang membunuh mu''min dengan sengaja maka balasannya adalah jahannam, kekal di dalamnya dstÉ".
Konteks ayat di atas adalah pembicaraan mengenai hukum-hukum hubungan antar Muslim. Dengan demikian, yang dimaksud pembunuh pada ayat itu adalah Muslim. Masalahnya adalah apakah makna dari kekal dalam jahannam? Bukankah dalam haditsnya, Rasulullah SAW pernah mensabdakan: "Man Qaala Laa ilaah illaLLah Mukhlisan min qalbih dakhalal Jannah" (Siapa yang mengucapkan Laa ilaah illallah ikhlas dari hatinya, akan masuk ke dalam Syurga). Lalu bagaimana seorang yang membunuh sesama Muslim tapi pernah mengucapkannya dengan ikhlas? Apakah arti mengucapkan Laa ilaah illallah dengan ikhlas menytransfer manusia menjadi malaikat sehingga tidak lagi berbuat salah?
Para Ulama menyimpulkan bahwa hadits tidak dimaksudkan bahwa jika sngan ikhlas lalu tidak akan lagi terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Bukankah kesalahan itu sendiri adalah ciri khusus yang tidak terpisahkan dari hidup manusia? Bakan terkadang menjadi ciri ketakwaan, asal saja diikuti dengan "pengakuan dan permohonan ampun" (Dan orang-orang yang jika melakukan kekejian atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka ingat Allah dan mereka beristghfar memohon ampunan untuk dosa-dosa mereka).
Pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman terhadap sesama Mu''min, selama tidak diyakini bahwa membunuh itu adalah "halal" dianggap sebagai "kabirah" atau dosa besar. Jika dalam kehidupannya tidak segera disusuli dengan "Taubat" maka jelas kata Allah, akibatnya adalah Jahannam kekal di dalamnya. Kekal di sini adalah kekal dalam arti waktu yang cukup lama. Sebagaimana Allah berfirman: "Khaalidiina fiiha ahqaaba" (mereka kekal di dalamnya dalam beberapa fase yang lama) (An Naba). Artinya kekalnya seorang pendosa Muslim pasti berbeda dengan kekalnya seorang yang memang secara "I''tiqaad" tidak beriman. Sebab jika sama, lalu di mana kita dudukkan sifat Allah yang Maha Adil?
Tentu banyak contoh yang dapat kita ajukan. Namun kesimpulan yang akan diambil adalah bahwa kekafiran itu ada dua macamnya. Justeru kita harus berhati-hati melabelkan kekafiran kepada sesama Muslim, terlepas dari perilaku yang dialkukannya. Karena sesungguhnya hati dan nuraninya hanya dia dan Allah yang tahu. Maka kalau kita kembali kepada cerita di awal tulisan ini, memang seharusnya kita berhati-hati. Jangan-jangan kita mengkafirkan seseorang, padahal dalam dirinya masih terbersit serpihan iman sekecil apapun. Jika ini terjadi, maka sesungguhnya kita sudah melakukan pelanggaran ketuhanan, sebab hak menilai iman dan kafirnya seseorang hanyalah hak Allah Yang Maha Tahu. Wallahu a''lam!
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan jangan sampai terjerat dengan undang-undang UUITE