Surga di atas, Surga di bawah
Bayangkan kalau ada sebuah tempat yang mengklaim dirinya dengan moto “surga di atas, surga di bawah”. Jangan jorok dulu, itu adalah motonya Wakatobi – sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara. Disebut juga Tukang Besi Islands, wilayahnya seluas 1,39 juta hektar tapi 97%-nya adalah laut dan dihuni sekitar 100 ribu penduduk. Fakta yang sangat menarik, alam bawah laut Wakatobi memiliki 750 spesies karang dari 850 spesies yang ada di dunia. Red Sea yang terkenal itu aja cuma ada 200 spesies, bahkan Karibia cuma ada 70 spesies! Pentingnya keanekaragaman terumbu karang bagi para penyelam adalah kita dapat melihat beraneka ragam spesies di satu tempat sekaligus tanpa banyak usaha, jadi nggak liat yang itu-itu doang.
Saya membuktikan “surga di bawah” ketika menyelam di sekitar Pulau Tomia dan Hoga. Tak usah sampai menyelam, dari kapal pun terumbu karangnya terlihat jelas. Begitu masuk… widiih, terumbu karangnya rapat menempel, tumbuh subur dan sehat. Sekali jalan memang tidak pernah sama pemandangannya. Mulai dari karang yang bentuknya seperti otak, di sebelahnya ada karang berbentuk hamparan kembang kol dan mawar raksasa, lalu bentuk pentol-pentol, bentuk meja, dll. Belum lagi soft coral-nya mulai dari bentuk bunga kecil, pohon, jamur, sampai kipas laut (sea fan) yang gede-gede dan berwarna-warni ngejreng.
Ikannya sendiri luar biasa banyaknya. Memang tidak ada ikan besar karena bukan perairan dalam, tapi ada penyu, lion fish, lobster, bumphead parrot fish, ular laut, moray eel, termasuk makhluk kecil macam nudibranch yang masing-masing beragam jenisnya. Ikan Nemo (clownfish) sih buanyak banget dan nggak cuma berwarna oranye kuning doang, tapi juga ada yang ungu dan biru. Saya juga sempat bertemu dengan schooling ratusan ikan barakuda yang tajam-tajam sepanjang semeter berenang mengelilingi saya di situs bernama Table Coral City.
Suatu kali saya bela-belain menyelam jam 6 pagi demi melihat ikan pada saat rush hour di situs bernama Ali Reef. Ya ampun, saya sampe ‘pusing’ sendiri melihat gerombolan ikan yang seliweran dari segala arah dengan kecepatan tinggi. Ratusan ikan warna biru berderetan ngebut dari kanan ke kiri, ikan warna kuning ngebut juga dari kiri ke kanan, ikan putih ngebut dari atas ke bawah, ikan hitam dari bawah ke atas… dan persis di depan muka saya ratusan ikan GT (giant trevally) masing-masing sepanjang setengah meter memblokir pandangan! Wuaah!
Asiknya lagi, visibility-nya mencapai 30 meter, artinya jarak pandang di bawah laut sangat jauh karena airnya jernih. Bahkan pernah seharian menyelam pas mendung dan hujan tapi di dalam sana tetap terang, malah jadi kece banget karena serba biru cahayanya. Lansekap bawah lautnya pun beragam, mulai dari datar, slope, pinnacle, sampai wall, jadi bener-bener nggak bikin bosan. Soal arus, di sana memang agak kencang, tapi itulah kuncinya: semakin kencang arus, maka semakin banyak ikannya.
Nah, bagaimana dengan “surga di atas”? Wakatobi berciri khas Indonesia Timur dengan langit yang selalu biru di siang hari dan jutaan bintang yang selalu terlihat di malam hari. Begitu pesawat mendekati Wakatobi saja saya sudah menahan napas melihat pemandangan yang spektakuler dari atas: pulau hijau, pasir putih, air laut bergradasi biru muda ke biru tua, dan atol. Ternyata selain 39 pulau, Wakatobi juga memiliki sejumlah atol. Bahkan Karang Kaledupa merupakan sebuah atol terpanjang di dunia dengan panjang 48 km! Atol di Great Barrier Reef Australia memang panjangnya sampai 3.600 km, tapi itu merupakan kumpulan dari atol-atol, bukan terbentuk dari sebuah atol.
Soal “surga di atas”, pelabuhan Wanci aja bersih, tidak ada sampah dan ceceran oli kapal sehingga air lautnya bening-ning-ning. Paling keren memang resor muahal itu yang terletak di Pulau Tomia. Maklum pemiliknya yang bule itu benar-benar menjaga kebersihan dan kerapian pantai, bahkan orang yang bukan tamu aja dilarang merapat di laut depan resor. Yah demi kelestarian alam, nggak apa-apa deh. Agak minggir jauh, saya menginap di Tomia Dive Center. Sama-sama di pinggir pantai, tapi di depan bungalow saya tidak berpasir melainkan langsung laut.
Baru di Pulau Hoga lah saya bisa berjemur di atas hamparan pasir putih pantai yang didominasi oleh pohon pinus, bukan pohon kelapa lho. Aih, kerennya! Hoga juga merupakan pusat dari Operation Wallacea, sebuah LSM asal Inggris yang fokus pada penelitian terumbu karang dan perikanan. Tiap Juli-Agustus 600 orang bule datang ke sana untuk penelitian karena Wakatobi memiliki keanekaragaman laut yang terbanyak di dunia. Tapi di sekitar Wakatobi, pulau yang paling keren adalah Pulau Nda’a. Pulau yang tidak berpenghuni ini terletak sekitar sejam naik speedboat dari Pulau Tomia. Isinya hamparan pasir putih dengan sedikit tumbuhan dan air laut bening yang tenang. Beuh, nikmat bener untuk berenang dan guling-guling.
Ah, nggak ada air tawar dan listrik doang sih sepadan dengan surganya Wakatobi. Baru aja menyetujui pernyataan itu, sambil menunggu pesawat kembali ke Makassar, Imin mengajak saya nongkrong di Patuno Resort yang hanya berjarak 10 menit dari bandara Wanci. Wedeh, baru tau ada resor kelas menengah di pinggir pantai berpasir putih yang keren, nyaman, dan ada air dan listrik 24 jam! Rupanya resor ini baru beroperasi beberapa bulan yang lalu, katanya sih milik Bupati Wakatobi. Jadi sekarang berlibur di Wakatobi ada pilihan, ada penginapan kelas backpacker di Hoga, kelas borju ratusan dolar semalam di Tomia, dan kelas menengah di Wanci. Setelah seminggu tidak ketemu toilet duduk dan irit air, di sana otomatis perut saya bergejolak dan menumpahkan seluruh isi di dalamnya. Hehe!
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan jangan sampai terjerat dengan undang-undang UUITE